Hukum Ziarah Kubur Dll.

Kita sering menziarahi kubur apatah lagi semasa di hari raya kan. ramai ja org kat perkuburan untuk menziarahi. Kita yang muda-muda ne pun sendiri x paham sangat, just menjadi ikutan orang-orang tua ja.. bagi saya, banyak betul persoalan d kepala ne sebelum tahu apa hukum dan mcm2 lagi. Kadang-kadang adat kita melebihi sunnah Rasulullah saw dan panduan alQuran karim. ( Hukum, tatacara menziarahi kubur, hal-hal yang diharamkan bidaah, ziarah kubur menyalakan lampu, memasang payung, tabur bunga, shalat dan membaca quran di kuburan dll.. )

Sumber : http://kaahil.wordpress.com


Hukum Ziarah Kubur


Berziarah kubur adalah sesuatu hal yang disyariatkan dalam agama berdasarkan (dengan dalil) hadits-hadits Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa sallam dan ijma’.
Dalil-dalil dari hadits Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa sallam tentang disyariatkannya ziarah kubur di antaranya:

Pertama , hadits Buraidah bin Al-Hushaib radhiyallâhu ‘anhu dari Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa sallam beliau bersabda,

إِنِّيْ كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُوْرِ فَزُوْرُوْهَا
”Sesungguhnya aku pernah melarang kalian untuk menziarahi kubur, maka (sekarang) ziarahilah kuburan.” 

Hadits ini dikeluarkan oleh Imam Muslim (3/65 dan 6/82) dan Imam Abu Dâud (2/72 dan 131) dengan tambahan lafazh,

فَإِنَّهَا تُذَكِّرُكُمْ الْآخِرَةَ
“Sebab ziarah kubur itu akan mengingatkan pada hari akhirat.”


Dan dari jalan Abu Dâud hadits ini juga diriwayatkan maknanya oleh Imam Al-Baihaqy (4/77), Imam An-Nasâ`i (1/285-286 dan 2/329-330), dan Imam Ahmad (5/350, 355-356 dan 361).

Kedua , hadits Abu Sa’id Al-Khudry radhiyallâhu ‘anhu, yang semakna dengan hadits Buraidah. Dikeluarkan oleh Imam Ahmad (3/38,63 dan 66), Al-Hâkim (1/374-375), dan Al-Baihaqy (4/77) dari jalan Al-Hâkim.

Ketiga , hadits Anas bin Malik radhiyallâhu ‘anhu, yang juga semakna dengan hadits Buraidah dikeluarkan oleh Al-Hâkim (1/376).
Adapun ijma’ diriwayatkan (dihikayatkan) oleh:
  • Al-‘Abdary sebagaimana disebutkan oleh Imam An-Nawawy dalam kitab Al-Majmû’ Syarh Al-Muhadzdzab (5/285).
  • Al-Imam Muwaffaquddin Abu Muhammad ‘Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Qudâmah Al-Maqdasy Al-Hambaly (541-620 H) dalam kitab Al-Mughny (3/517).
  • Al-Hâzimy sebagaimana disebutkan oleh Imam Asy-Syaukâny dalam kitab Nailul Authâr (4/119).
Batasan Disyari’atkannya Ziarah Kubur
Syariat yang telah disebutkan di atas tentang ziarah kubur adalah disunnahkan bagi laki-laki berdasarkan dalil-dalil dari hadits-hadits maupun hikayat ijma’ tersebut di atas. Adapun bagi wanita, maka hukumnya adalahmubah (boleh), makruh bahkan sampai kepada haram bagi sebagian wanita.
Perbedaan hukum antara laki-laki dan wanita dalam masalah ziarah kubur ini disebabkan oleh adanya hadits yang menunjukkan larangan ziarah kubur bagi wanita,

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ : أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ لَعَنَ زَائِرَاتِ الْقُبُوْرِ
“Dari Abu Hurairah radhiyallâhu ‘anhu dia berkata,  Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa sallam melaknat wanita-wanita peziarah kubur.’.”

Hadits ini diriwayatkan Ibnu Hibbân di dalam Shahîh -nya sebagaimana dalam Al-Ihsân no. 3178, dan mempunyai syawahid (pendukung-pendukung) yang diriwayatkan oleh beberapa orang shahabat, di antaranya,
  • Hadits Hassan bin Tsabit, dikeluarkan oleh Ahmad 3/242, Ibnu Abi Syaibah 4/141, Ibnu Mâjah 1/478, Al-Hâkim 1/374, Al-Baihaqy dan Al-Bushîry di dalam kitabnya Az-Zawâ`id dan dia berkata isnad-nya shahih dan rijal-nya tsiqah.
  • Hadits Ibnu ‘Abbâs, dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah dan Ashhâbus Sunan Al-Arba’ah (Abu Dâud, An-Nasâ`i, At-Tirmidzy dan Ibnu Mâjah), Ibnu Hibbân, Al-Hâkim dan Al-Baihaqy.
Catatan
Hadits dengan lafazh seperti di atas ( زَائِرَاتِ ) menunjukkan pengharaman ziarah kubur bagi wanita secara umum tanpa ada pengecualian, akan tetapi ada lafazh lain dari hadits ini, yaitu,
لَعَنَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ زُوَّارَاتِ الْقُبُوْرِ. وَ فِيْ لَفْظٍ : لَعَنَ اللهُ
 Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa sallam ( dalam lafazh yang lain Allah Subhânahu wa Ta’âlâ) melaknat wanita-wanita yang banyak berziarah kubur.”
Lafazh زُوَّارَاتِ (wanita yang banyak berziarah) menjadi dalil bagi sebagian ulama untuk menunjukkan bahwa berziarah kubur bagi wanita tidaklah terlarang secara mutlak (haram) akan tetapi terlarang bagi wanita untuk sering melakukan ziarah kubur.


Sebagian dari Perkataan Para Ulama Tentang Ziarah Kubur bagi Wanita
Yang melarang, di antaranya:
  • Berkata Imam An-Nawawy Asy-Syâfi’iy , “Nash-nash Imam Asy-Syâfi’iy dan Al-Ashhâb (pengikut Madzhab Syâfi’iyyah) telah sepakat bahwa ziarah kubur disunnahkan bagi laki-laki.” ( Al-Majmu’ 5/285).
Kata disunnahkan bagi laki-laki mempunyai pengertian bahwa bagi wanita tidak disunnahkan.
  • Berkata Imam Al-Muwaffaq Ibnu Qudâmah Al-Maqdasy Al-Hambaly , “Kami tidak mengetahui adanya perbedaan di kalangan Ahlul ‘Ilmi tentang bolehnya laki-laki berziarah kubur.” Lihat Al-Mughny 3/517.
Kata bolehnya laki-laki berziarah kubur memiliki pengertian bahwa bagi wanita belum tentu boleh atau tidak boleh sama sekali.
  • Berkata Al-Imam Muhammad bin Muhammad Al-Abdary Al-Mâlikiy, yang terkenal dengan nama kunyahnya “Ibnul Hâjj” , “Dan seharusnya (selayaknya), baginya (laki-laki), melarang wanita-wanita keluar ke kuburan, meskipun wanita-wanita tersebut memiliki mayat (karena si mayat adalah keluarga atau kerabatnya) sebab As-Sunnah telah menghukumi/menetapkan bahwa mereka (para wanita) tidak diperkenankan untuk keluar rumah.” Lihat Madkhal As-Syar‘u Asy-syarîf 1/250.
  • Berkata Abu An-Najâ Musa bin Ahmad Al-Maqdasy Al-Hambaly (pengarang Zâdul Mustaqni’ ) , “Disunnahkan ziarah kubur kecuali bagi wanita.” Lihat Hâsyiah Ar-Raudhul Murbi’ Syarh Zâdul Mustaqni’3/144-145.
  • Berkata Al-Imam Mar’iy bin Yûsuf Al-Karmy , “Dan disunnahkan berziarah kubur bagi laki-laki dan dibenci (makruh) bagi wanita.” Lihat Manâr As-Sabîl Fî Syarh Ad-Dalîl 1/235.
  • Berkata Syaikh Ibrâhim Dhuwaiyyân , “Minimal hukumnya adalah makruh.”
  • Berkata Syaikh Dr. Shâleh bin Fauzân Al-Fauzân , “Dan ziarah itu disyariatkan bagi laki-laki, adapun wanita diharamkan bagi mereka berziarah kubur.” Lihat Al-Muntaqâ Min Fatâwâ Syaikh Shâlih Al-Fauzân.
Yang membolehkan, di antaranya:
  • Imam Al-Bukhâry, bahwa beliau meriwayatkan hadits Anas bin Malik radhiyallâhu ‘anhu, “Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa sallam melewati seorang wanita yang sedang berada di sebuah kuburan, sambil menangis. Maka Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa sallam berkata padanya, ‘ Bertaqwalah engkau kepada Allah dan bersabarlah.’ Maka berkata wanita itu, ‘ Menjauhlah dariku, engkau belum pernah tertimpa musibah seperti yang menimpaku,’ dan wanita itu belum mengenal Nabi shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa sallam, lalu disampaikan padanya bahwa dia itu adalah Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa sallam, ketika itu ditimpa perasaan seperti akan mati (karena merasa takut dan bersalah-ed.). Kemudian wanita itu mendatangi pintu (rumah) Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa sallam dan dia tidak menemukan penjaga-penjaga pintu maka wanita itu berkata, ‘ Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku (pada waktu itu) belum mengenalmu, maka Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa sallam berkata, ‘ Sesungguhnya yang dinamakan sabar itu adalah ketika (bersabar) pada pukulan (benturan) pertama.’.”
Al-Bukhâry memberi terjemah (judul bab) untuk hadits ini dengan judul “Bab tentang ziarah kubur” yang menunjukkan bahwa beliau tidak membedakan antara laki-laki dan wanita dalam berziarah kubur. Lihat Shahîh Al-Bukhâry 3/110-116.

  • Al-Imam Al-Hâfizh Ibnu Hajar Al-Asqâlany menerangkan hadits di atas dalam Fathul Bâry , “Dan letak pendalilan dari hadits ini adalah bahwa Nabi shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa sallam tidak mengingkari duduknya (keberadaan) wanita tersebut di kuburan. Dan taqrir (pembolehan) Nabi adalah hujjah.”
  • Berkata Al-‘Ainy, “Dan pada hadits ini terdapat petunjuk tentang bolehnya berziarah kubur secara mutlak, baik peziarahnya laki-laki maupun wanita dan yang diziarahi (penghuni kubur) muslim atau kafir karena tidak adanya pembedaan padanya.” Lihat  Umdatul Qâry 3/76.
  • Al-Imam Al-Qurthuby berkata, “Laknat yang disebutkan di dalam hadits (tersebut) adalah bagi wanita-wanita yang memperbanyak ziarah karena bentuk lafazhnya menunjukkan mub alaghah (berlebih-lebihan). Dan sebabnya mungkin karena hal itu akan membawa wanita kepada penyelewengan hak suami dan berhias diri dan akan munculnya teriakan, erangan, raungan dan semisalnya. Dan dikatakan jika semua hal tersebut aman (dari terjadinya) maka tidak ada yang bisa mencegah untuk memberikan izin kepada para wanita, sebab mengingat mati diperlukan oleh laki-laki maupun wanita.” Lihat Jâmi’ Ahkâmul Qur`ân .
  • Berkata Al-Imam Asy-Syaukâny, “Dan perkataan (pendapat) ini adalah yang pantas untuk pegangan dalam mengkompromikan antara hadits-hadits bab yang saling bertentangan pada lahirnya.” Lihat Nailul Authâr 4/121.
  • Berkata Syaikh Muhammad Nâshiruddin Al-Albâny, “Dan wanita (sama) seperti laki-laki dalam hal disunnahkannya berziarah kubur.” Kemudian beliau rahimahullah menyebutkan empat alasan yang sangat kuat dalam menunjukkan hal tersebut di atas. Setelah itu, beliau berkata, “Akan tetapi tidak dibolehkan bagi mereka (para wanita) untuk memperbanyak ziarah kubur dan bolak-balik ke kuburan sebab hal ini akan membawa mereka untuk melakukan penyelisihan terhadap syariat seperti meraung, memamerkan perhiasan/kecantikan, menjadikan kuburan sebagai tempat tamasya dan menghabiskan waktu dengan obrolan kosong (tidak berguna), sebagaimana terlihatnya hal tersebut dewasa ini pada sebagian negeri-negeri Islam, dan inilah maksud, Insya Allah, dari hadits masyhur,
لَعَنَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ (وَفِيْ لَفْظٍ : لَعَنَ اللهُ) زَوَّارَاتِ

Rasulullahshallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa sallam melaknat (dalam sebuah lafadz Allah melaknat) wanita-wanita yang banyak berziarah kubur.” ( Sunan Al-Baihaqy 4/6996, Sunan Ibnu Mâjah no. 1574,Musnad Ahmad 2/8430, 8655)
Lihat Ahkâmul Janâiz 229-237karya Syaikh Al-Albâny.
Kesimpulan Penulis
Wanita tidak dianjurkan untuk berziarah kubur, karena ditakutkan akan terjadi padanya hal-hal yang bertentangan dengan syari’at disebabkan karena kelemahan hati wanita dan karena perbuatannya, seperti akan terjadinya teriakan atau raungan ketika menangis/sedih, tabarruj (berhias), ikhtilâth (bercampur baur dengan laki-laki) dan hal-hal lain yang sejenis. Itulah sebabnya Nabi shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa sallam melaknat wanita-wanita yang sering melakukan ziarah kubur karena banyaknya (seringnya) berziarah kubur tersebut akan mengantarkannya kepada penyelisihan/penyelewengan terhadap syari’at. Akan tetapi jika seorang wanita kebetulan melewati kuburan atau berada di kuburan karena kebetulan (tanpa sengaja) seperti yang terjadi pada ‘Âisyah radhiyallahu ‘anha ketika mengikuti Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa sallam ke pekuburan Baqî’, maka pada waktu itu keadannya seperti laki-laki dalam hal bolehnya wanita tersebut berziarah, dengan memberi salam dan mendoakan para penghuni kubur.
Berkata Syaikh Ibrâhim Duwaiyyân, “Jika seorang wanita yang sedang berjalan melewati suatu kuburan di jalannya dia memberi salam dan mendoakan penghuni kubur (mayat) maka hal ini baik (tidak mengapa) sebab wanita tersebut tidak sengaja keluar untuk ke pekuburan.” Lihat Manâr As-Sabîl Fî Syarh Ad-Dalîl .
Wallâhu A’lam Bish Shawab .
Hikmah dilarangnya para wanita memperbanyak (sering) berziarah
Di antara hikmah tersebut:
  • Karena ziarah dapat membawa kepada penyelewengan hak-hak suami akan keluarnya para wanita dengan berhias lalu dilihat orang lain dan tak jarang ziarah tersebut disertai dengan raungan ketika menangis. Hal ini disebutkan oleh Imam Asy-Syaukâny dalam Nailul Authâr 4/121.
  • Karena para wanita memiliki kelemahan/kelembekan dan tidak memiliki kesabaran maka ditakutkan ziarah mereka akan mengantarkan kepada perkataan-perkataan dan perbuatan-perbuatan yang akan mengeluarkan mereka dari keadaan sabar yang wajib. Hal ini disebutkan oleh ‘Abdullah bin ‘Abdirrahman Al-Bassâm dalam Taudhîhul Ahkâm 2/563-564.
  • Sebab wanita sedikit kesabarannya, maka dia tidaklah aman dari gejolak kesedihannya ketika melihat kuburan orang-orang yang dicintainya, dan ini akan membawa dia pada perbuatan-perbuatan yang tidak halal baginya, berbeda dengan laki-laki. Disebutkan oleh Syaikh Ibrâhim Duwaiyyân menukil dari Al-Kâfi . Lihat Manâr As-Sabîl Fî Syarh Ad-Dalîl 1/236.
  • Berkata Imam Ibnul Hâjj rahimahullah setelah menyebutkan 3 pendapat ulama tentang boleh tidaknya berziarah kubur bagi wanita, “Dan ketahuilah bahwa perselisihan pendapat para ‘ulama yang telah disebutkan adalah dengan kondisi wanita pada waktu itu (zamannya para ‘ulama salaf sebelum Ibnul Hâjj yang wafat pada thn 732 H), maka mereka sebagaimana diketahui dari kebiasaan mereka yang mengikuti sunnah, sebagaimana telah lalu (tentang hal itu). Adapun keluarnya mereka (para wanita untuk berziarah) pada zaman ini (zaman Ibnul Hâjj), maka kami berlindung kepada Allah dari kemungkinan adanya seorang dari ‘ulama atau dari kalangan orang-orang yang memiliki muru`ah (kehormatan dan harga diri) atau cemburu (kepedulian) terhadap agamanya yang akan membolehkan hal ini. Jika terjadi keadaan darurat (yang mendesak) baginya untuk keluar maka hendaknya berdasarkan hal-hal yang telah diketahui dalam syari’at berupa menutup aurat sebagaimana yang telah lalu (pembahasannya) bukan sebagaimana adat mereka yang tercela pada masa ini. Lihatlah, mudah-mudahan Allah Subhânahu Wa Ta’âla merahmati kami dan merahmatimu. Lihatlah mafsadah (kerusakan) ini yang telah dilemparkan oleh syaithan kepada sebagian mereka (para wanita) di dalam membangun (menyusun) tingkatan-tingkatan kerusakan ini di kuburan.” ( Madkhal Asy-Syar’u Asy-Syarif 1/251)

Adakah Waktu-Waktu Tertentu (Khusus) Untuk Berziarah?


Ziarah Kubur dapat dilakukan kapan saja, tidak ada waktu yang khusus dan tidak boleh (tidak layak) dikhususkan untuk itu, baik pada bulan Sya’ban, Syawal maupun waktu-waktu yang lainnya. Hal ini karena tidak adanya dalil yang menunjukkan tentang adanya waktu khusus atau afdhal (paling baik) untuk berziarah kubur.
Ketika Syaikh Dr. Shâleh bin Fauzân Al-Fauzân ditanya tentang waktu/hari yang afdhal untuk berziarah, beliau berkata, “Tidak ada waktu khusus dan tidak ada waktu tertentu untuk berziarah kubur.” Lihat Al-Muntaqâ min Fatâwâ Syaikh Shâlih Al-Fauzân 2/166.


Faidah Ziarah Kubur

Bagi yang Berziarah
Faidah yang bisa dipetik dan hasil yang akan didapatkan oleh orang yang berziarah kubur, antara lain :
  • Memberikan nasihat bagi dirinya.
  • Mengingatkannya kepada kematian, balasan dan hari kiamat.
  • Menambahkan kebaikan baginya.
  • Mengambil pelajaran.
  • Melunakkan (melembutkan) hati.
  • Menjadikannya zuhud terhadap dunia dan tamak terhadap kebaikan hari akhirat.
Semua hal tersebut di atas ditunjukkan oleh hadits-hadits Nabi shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa sallam ,
إِنِّيْ كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُوْرِ فَزُوْرُوْهَا فَإِنَّهَا تُذَكِّرُكُمُ الْآخِرَةَ وَلْتَزِدْكُمْ زِيَارَتُهَاخَيْرًا
“Sesungguhnya aku pernah melarang kalian dari berziarah kubur maka (sekarang) ziarahilah kubur sebab ziarah itu akan mengingatkan kalian terhadap hari akhirat dan akan menambah kebaikan pada diri kalian.” Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari hadits Buraidah bin Al-Hushaib (5/350, 355, 356 dan 361).
Dalam riwayat yang lain dari Abu Sa’id Al-Khudry radhiyallâhu ‘anhu ,
فَإِنَّ فِيْهَا عِبْرَةً
“Sesungguhnya pada ziarah itu terdapat pelajaran”.
Diriwayatkan oleh Ahmad (3/38, 63, 66), Al-Hâkim (1/374-375) dan Al-Baihaqy (4/77) dari jalan Al-Hâkim.
Dalam riwayat yang lain dari Anas bin Mâlik radhiyallahu ‘anhu ,
فَإِنَّهَا يُرِقُّ الْقَلْبَ وَتَدْمَعُ الْعَيْنُ وَتُذِكَّرُ الْآخِرَةَ
“Sesungguhnya ziarah itu akan melunakkan hati, mengundang air mata dan mengingatkan pada hari kiamat.” Diriwayatkan oleh Al-Hâkim (1/376).
Bagi Penghuni Kubur
Penghuni kubur akan mendapatkan manfaat dari ziarah kubur dengan adanya salam yang ditujukan padanya yang berisi permohonan keselamatan, ampunan dan rahmat baginya. Semua hal ini hanya bisa didapatkan oleh seorang muslim. (Disebutkan oleh Syaikh Al-Albâny dalam Ahkâmul Janâiz 239)
Berkata Ibnul Qayyim rahimahullâh ,
“Pasal: Tentang Petunjuk Nabi shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa sallam dalam ziarah kubur: Adalah beliau shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa sallam jika menziarahi kubur para shahabatnya beliau menziarahinya untuk mendoakan mereka dan memintakan rahmat dan pengampunan bagi mereka. Inilah bentuk ziarah yang disunnahkan bagi ummatnya dan beliau syariatkan untuk mereka dan memerintahkan mereka jika menziarahi kuburan untuk mengatakan ,
اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ أَهْلَ الدِّيَارِ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُسْلِمِيْنَ وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللهُ لَلاَحِقُوْنَ نَسْأَلُ اللهَ لَنَا وَلَكُمُ الْعَافِيَةَ
“Salam keselamatan atas penghuni rumah-rumah (kuburan) dan kaum mu’minin dan muslimin, mudah-mudahan Allah merahmati orang-orang yang terdahulu dari kita dan orang-orang yang belakangan, dan kami Insya Allah akan menyusul kalian, kami memohon kepada Allah keselamatan bagi kami dan bagi kalian.” (Disebutkan dalam Zâdul Ma’âd karya Ibnul Qayyim)


Tata Cara Ziarah Kubur

Yang dilakukan oleh seorang peziarah adalah:
  • Memberi salam kepada penghuni kubur (muslimin) dan mendo’akan kebaikan bagi mereka. Diantara doa yang diajarkan oleh Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa sallam kepada umatnya yang berziarah kubur ,
اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ أَهْلَ الدِّيَارِ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُسْلِمِيْنَ وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللهُ لَلاَحِقُوْنَ نَسْأَلُ اللهَ لَنَا وَلَكُمُ الْعَافِيَةَ
“Salam keselamatan atas penghuni rumah-rumah (kuburan) dan kaum mu’minin dan muslimin, mudah-mudahan Allah merahmati orang-orang yang terdahulu dari kita dan orang-orang yang belakangan, dan kami Insya Allah akan menyusul kalian kami memohon kepada Allah keselamatan bagi kami dan bagi kalian.” Diriwayatkan oleh Imam Muslim 975, An-Nasâ`i 4/94, Ahmad 5/353, 359, 360.
اَلسَّلاَمُ عَلَى أَهْلَ الدِّيَارِ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُسْلِمِيْنَ وَيَرْحَمُ اللهُ الْمُسْتَقْدِمِيْنِ مِنَّا وَالْمُسْتَأْخِرِيْنَ وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللهُ بِكُمْ لَلاَحِقُوْنَ
“Keselamatan atas penghuni kubur dari kaum mu’minin dan muslimin mudah-mudahan Allah merahmati orang-orang terdahulu dari kita dan orang-orang belakangan dan kami Insya Allah akan menyusul kalian.”
  • Tidak berjalan di atas kuburan dengan mengenakan sandal. Hal ini berdasarkan hadits Basyir bin Khashashiah ,
بَيْنَمَا هُوَ يَمْشِيْ إِذْ حَانَتْ مِنْهُ نَظَرَةٌ فَإِذَا رَجُلٌ يَمْشِيْ بَيْنَ الْقُبُوْرِ عَلَيْهِ نَعْلاَنِ فَقَالَ يَا صَاحِبَ السِّبْتِيَّتَيْنِ وَيْحَكَ أَلْقِ سِبْتِيَّتَيْكَ فَنَظَرَ فَلَمَّا عَرَفَ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ خَلَعَ نَعْلَيْهِ فَرَمَى بِهِمَا
“Ketika Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa sallam sedang berjalan, tiba-tiba beliau memandang seorang laki-laki yang berjalan di antara kubur dengan mengenakan sandal, maka Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa sallam bersabda , ‘Wahai pemilik (yang memakai) sandal celakalah engkau lepaskanlah sandalmu. ’ Maka orang itu memandang tatkala ia mengetahui Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa sallam ia melepaskan kedua sandalnya dan melemparkannya.” Diriwayatkan oleh Abu Dâud 2/72, An-Nasâ`i 1/288, Ibnu Mâjah 1/474, Al-Hâkim 1/373 dan dia berkata , “Sanadnya shahih,” dan disepakati oleh Adz-Dzahaby dan dikuatkan (diakui) oleh Al- Hâfizh Ibnu Hajar ( Fathul Bâry 3/160).
Berkata Al- Hâfizh Ibnu Hajar , “Hadits ini menunjukkan makruhnya berjalan diantara kuburan dengan sandal.” ( Fathul Bâry 3/160). Berkata Syaikh Al-Albâny , “Hadits ini menunjukkan makruhnya berjalan di atas kuburan dengan memakai sandal.” Lihat Ahkâmul Janâiz 252.
  • Tidak duduk atau bersandar pada kuburan.
Hal ini berdasarkan hadits Abu Marbad radhiyallâhu ‘anhu dari Nabi shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa sallam ,
لاَ تَجْلِسُوْا عَلَى الْقُبُوْرِ وَلاَ تُصَلُّوا إِلَيْهَا
“Janganlah kalian duduk di atas kuburan dan jangan melakukan shalat padanya.” Dikeluarkan oleh Imam Muslim 2/228.
Dan hadits Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa sallam bersabda ,
لَأَنْ يَجْلِسَ أَحُدُكُمْ عَلَى جَمْرَةٍ فَتُحْرِقَ ثِيَابَهُ فَتَخْلُصَ إِلَى جِلْدِهِ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَجْلِسَ عَلَى قَبْرٍ
“Seandainya salah seorang dari kalian duduk di atas bara api hingga (bara api itu) membakar pakaiannya sampai mengenai kulitnya itu adalah lebih baik daripada dia duduk di atas kuburan.” Diriwayatkan oleh Imam Muslim.
  • Dibolehkan bagi peziarah untuk mengangkat tangannya ketika berdoa untuk penghuni kubur, berdasarkan hadits ‘Âisyah radhiyallâhu ‘anhâ ,
“Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa sallam keluar pada suatu malam, maka aku (‘Âisyah) mengutus Barîrah untuk membuntuti kemana saja beliau (Rasulullah) pergi, maka Rasulullah mengambil jalan ke arah Baqî’ Al-Garqad kemudian beliau berdiri pada sisi yang terdekat dari Baqî’ lalu beliau mengangkat tangannya, setelah itu beliau pulang, maka kembalilah Barîrah kepadaku dan mengabariku (apa yang dilihatnya). Maka pada pagi hari aku bertanya dan berkata, ‘Wahai Rasulullah keluar kemana engkau semalam? ’ Beliau berkata, ‘Aku diutus kepada penghuni Baqî’ untuk mendoakan mereka ’.” Dikeluarkan oleh Imam Ahmad (6/92) dan sebelumnya oleh Imam Malik pada kitabnya ( Al-Muwaththa` (1/239-240)).
  • Berkata ‘Abdullah Al-Bassâm , “Tidaklah pantas bagi seseorang yang berada di pekuburan, baik dia bermaksud berziarah atau hanya secara kebetulan untuk berada dalam keadaan bergembira dan senang seakan-akan dia berada pada suatu pesta, seharusnya dia ikut hanyut atau memperlihatkan perasaan ikut hanyut di hadapan keluarga mayat.” Lihat Taudhîhul Ahkâm 2/564.
  • Menghadap ke kuburan ketika memberi salam kepada penghuni kubur.
Hal ini diambil dari hadits-hadits yang lalu tentang cara memberi salam pada penghuni kubur.
  • Ketika mendoakan penghuni kubur tidak menghadap ke kuburan melainkan menghadap kiblat. Sebab Nabi shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa sallam melarang umatnya shalat menghadap kubur dan karena doa adalah intinya ibadah, sebagaimana sabda Nabi shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa sallam ,
الدُّعَاءُ هُوَ الْعِبَادَةُ
“Doa adalah ibadah.”
Diriwayatkan oleh Imam At-Tirmidzy (4/178,223) dan Ibnu Mâjah (2/428-429).
Macam-macam Ziarah Kubur dan Hal-hal yang diharamkan dalam dalam Ziarah Kubur.
Hal ini telah disebutkan oleh Syaikh ‘Abdullah bin ‘Abdirrahman Al-Bassâm dalam Taudhîhul Ahkâm (2/562-563), bahwa keadaan seorang yang berziarah ada empat jenis, yaitu:
  • Mendoakan para penghuni kubur dengan cara memohon kepada Allah Subhânahu wa Ta’âla pengampunan dan rahmat bagi para penghuni kubur, dan memohonkan doa khusus bagi yang dia ziarahi dan pengampunan. Mengambil pelajaran dari keadaan orang mati sehingga bisa menjadi peringatan dan nasihat baginya. Inilah bentuk ziarah yang syar’i.
  • Berdoa kepada Allah Subhânahu wa Ta’âla bagi dirinya sendiri dan bagi orang-orang yang dicintainya di pekuburan atau di dekat sebuah kuburan tertentu dengan keyakinan bahwa berdoa di pekuburan atau pada kuburan seseorang tertentu afdhal (lebih utama) dan lebih mustajab daripada berdoa di masjid. Dan ini adalah bid’ah munkarah, haram hukumnya.
  • Berdoa kepada Allah Subhânahu wa Ta’âla dengan mengambil perantara jâh (kedudukan) penghuni kubur atau haknya, melalui perkataan , “Aku memohon pada-Mu, wahai Rabbku , berikanlah …(sesuatu)… dengan jâh (kedudukan) penghuni kuburan ini atau dengan haknya terhadap-Mu, atau dengan kedudukannya disisi-Mu,” atau yang semisalnya. Dan ini adalah bid’ah muharramah dan haram hukumnya, sebab perbuatan tersebut adalah sarana/jalan yang mengantar kepada kesyirikan kepada Allah Subhânahu wa Ta’âla .
  • Tidak berdoa kepada Allah Subhânahu wa Ta’âla melainkan berdoa kepada para penghuni kubur atau kepada penghuni kubur tertentu, melalui perkataan , “Wahai wali Allah, wahai nabi Allah, wahai tuanku, cukupilah aku atau berilah aku …(sesuatu) …,” dan semisalnya. Dan ini adalah syirik Akbar (besar).
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullâhu Ta’âla dalam kitabnya, Ar-Raddu ‘Alal Bakry hal. 56-57, ketika menyebutkan tingkatan bid’ah yang berhubungan dengan ziarah kubur, “Bid’ahnya bertingkat-tingkat:
Tingkatan Pertama (yang paling jauh dari syariat) , dia (penziarah) meminta hajatnya pada mayat atau dia beristighatsah (meminta tolong ketika terjepit/susah) padanya sebagaimana dilakukan oleh kebanyakan orang terhadap kebanyakan penghuni kubur. Dan ini adalah termasuk jenis peribadahan kepada berhala.
Tingkatan kedua , dia (penziarah) meyakini bahwa berdoa di sisi kuburnya mustajab atau bahwa doa tersebut afdhal (lebih baik) daripada berdoa di masjid-masjid dan di rumah-rumah. Dan dia maksudkan ziarah kuburnya untuk hal itu (berdoa di sisi kuburan), atau untuk shalat di sisinya atau untuk tujuan meminta hajat-hajatnya padanya. Dan ini juga termasuk kemungkaran-kemungkaran yang baru berdasarkan kesepakatan imam-imam kaum muslimin. Dan ziarah tersebut haram. Dan saya tidak mengetahui adanya pertentangan pendapat di kalangan imam agama ini tentang masalah ini.
Tingkatan ketiga , dia (penziarah) meminta kepada penghuni kubur agar memintakan (hajat) baginya kepada Allah. Dan ini adalah bid’ah berdasarkan kesepakatan para imam kaum muslimin.


 Hal-Hal yang Diharamkan/Bid’ah-Bid’ah Ziarah Kubur


  • Kesyirikan.
Syirik Akbar (besar) sering terjadi dan dilakukan oleh sebagian orang di kuburan. Batasan syirik besar (Asy-Syirkul Akbar) itu sendiri adalah jika seseorang memalingkan satu jenis atau satu bentuk dari jenis-jenis/bentuk-bentuk ibadah kepada selain Allah Subhânahu wa Ta’âla . Segala i’tiqâd (keyakinan), perkataan atau perbuatan yang telah tsabit (kuat) bahwa itu adalah diperintahkan oleh Allah Subhânahu wa Ta’âla , maka memalingkannya kepada selain Allah Subhânahu wa Ta’âla adalah kesyirikan dan kekufuran ( Al-Qaul As-Sadid Syarh kitâb At-Tauhid hal. 48 karya Syaikh ‘Abdurrahman bin Nâshir As-Sa’dy).
Syirik Akbar (besar) yang mungkin sering terjadi di kuburan adalah:
  • Menyembelih untuk penghuni kubur,
  • Menunaikan nadzar kepadanya,
  • Memberikan persembahan kepada penghuni kubur yang disertai dengan keyakinan dan perasaan cinta dan atau berharap dan atau takut terhadap penghuni kubur,
  • Bertawakkal kepadanya,
  • Berdoa kepadanya,
  • Meminta pertolongan untuk mendapatkan kebaikan (isti’ânah) atau untuk lepas dari kesulitan (istighatsah) pada penghuni kubur,
  • Thawaf pada kuburan, dan
  • Ibadah lainnya yang ditujukan untuk penghuni kubur.
Semua hal tersebut di atas adalah syirik besar dan mengakibatkan batalnya seluruh amalan. Allah Subhânahu wa Ta’âla berfirman, setelah menyebutkan tentang para nabi dan rasul-Nya,
“Itulah petunjuk Allah, yang dengannya Dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya. Seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan.” [ Al-An’âm: 88 ]
Tidak ada seorang pun yang beramal seperti amalannya para nabi dan rasul, sebab merekalah orang-orang yang paling tahu tentang Allah dan paling takwa kepada-Nya, tetapi Allah Subhânahu wa Ta’âla tetap menyatakan bahwa seandainya mereka berbuat kesyirikan, maka akan sirna/lenyap semua apa yang mereka kerjakan. Seperti juga firman Allah Subhânahu wa Ta’âla yang lainnya,
“Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu, “Jika kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi. Karena itu, maka hendaklah Allah saja yang kamu sembah dan hendaklah kamu termasuk orang-orang yang bersyukur.” [ Az-Zumar: 65-66 ]
Dan ayat-ayat di atas menggambarkan tentang betapa berbahayanya syirik tersebut dan betapa sesatnya manusia jika terjatuh ke dalam kesyirikan tersebut. Sebagaimana firman Allah Subhânahu wa Ta’âla ,
“Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” [ An-Nisâ`: 48 ]
dan firman Allah Subhânahu wa Ta’âla ,
“Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia, dan Dia mengampuni dosa yang selain dari syirik itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, maka sesungguhnya ia telah tersesat sejauh-jauhnya.” [ An-Nisâ`: 116 ]
dan firman Allah Subhânahu wa Ta’âla ,
“Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya,  Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan (Allah) sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezhaliman yang besar. ’ .” [ Luqman: 13 ]
  • Duduk di atas kuburan, sebagaimana penjelasan yang lalu dalam tata cara ziarah kubur.
  • Shalat menghadap kuburan.
Point 2 dan 3 berdasarkan sabda Nabi shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa sallam,
لاَ تُصَلُّوْا إِلَى الْقُبُوْرِ وَلاَ تَجْلِسُوْا عَلَيْهَا
“Janganlah kalian shalat menghadap kuburan dan jangan pula kalian duduk di atasnya.” Diriwayatkan oleh Imam Muslim 3/62 dari hadits Abi Martsad Al-Ghanawy.
  • Shalat di kuburan, meskipun tidak menghadap padanya, berdasarkan hadits Abu Sa’id Al-Khudry,
الْأَرْضُ كُلُّهَا مَسْجِدٌ إِلاَّ الْمَقْبَرَةَ وَالْحَمَّامَ
“Bumi ini semuanya adalah masjid (tempat shalat) kecuali pekuburan dan kamar mandi.” Diriwayatkan oleh At-Tirmidzy no. 317, Ibnu Mâjah 1/246 no. 745, Ibnu Hibbân 8/92 no. 2321.
Dan hadits Anas bin Mâlik,
نَهَى رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ عَنِ الصَّلاَةِ بَيْنَ الْقُبُوْرِ
“Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa sallam melarang dari shalat di antara kuburan.” Diriwayatkan oleh Ibnu Hibbân 4/596 no. 1698.
Dan Hadits Ibnu ‘Umar,
اِجْعَلُوْا فِيْ بُيُوْتِكُمْ مِنْ صَلاَتِكُمْ وَلاَ تَتَّخِذُوْهَا قُبُوْرًا
“Lakukanlah di rumah-rumah kalian sebagian dari shalat-shalat kalian dan janganlah menjadikannya sebagai kuburan.” H.R. Bukhâry no. 422.
Maksudnya bahwa kuburan tidaklah boleh dijadikan tempat shalat sebagaimana rumah yang dianjurkan untuk dilakukan sebagian shalat padanya (shalat-shalat sunnah bagi laki-laki).
Dan hadits Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa sallam bersabda,
لاَ تَجْعَلُوْا بُيُوْتَكُمْ مَقَابِرَ إِنَّ الشَّيْطَانَ يَنْفِرُ مِنَ الْبَيْتِ الَّذِيْ تَقْرَأُ فِيْهِ سُوْرَةُ الْبَقَرَةِ.
“Janganlah kalian jadikan rumah-rumah kalian sebagai pekuburan, sesungguhnya syaithan akan lari dari rumah yang dibacakan padanya surah Al-Baqarah.” Diriwayatkan oleh Imam Muslim no. 780.
  • Menjadikan kuburan sebagai tempat peringatan, dikunjungi pada waktu-waktu tertentu dan pada musim-musim tertentu untuk beribadah di sisinya atau untuk selainnya, berdasarkan hadits Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa sallam bersabda,
لاَ تَتَّخِذُوْا قَبْرِيْ عِيْدًا وَلاَ تَجْعَلُوْا بُيُوْتَكُمْ قُبُوْراً وَحَيْثُمَا كُنْتُمْ فَصَلُّوْا عَلَيَّ فَإِنَّ صَلاَتَكُمْ تَبْلُغُنِيْ
“Janganlah kalian menjadikan kuburanku sebagai tempat peringatan dan janganlah menjadikan rumah kalian sebagai kuburan dan dimanapun kalian berada bershalawatlah kepadaku sebab shalawat kalian akan sampai kepadaku.” Diriwayatkan oleh Imam Ahmad 2/367, Abu Dâud no. 2042 ( Ahkâmul Janâ`iz dan Min Bida’il Qubûr )
  • Melakukan perjalanan (bersafar) dengan maksud hanya untuk berziarah kubur, berdasarkan hadits Abu Hurairah dari Nabi shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa sallam,
لاَ تُشَدُّ الرِّحَالُ إِلاَّ إِلَى ثَلاَثَةِ مَسَاجِدَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَمَسْجِدِ الرَّسُوْلِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ وَمَسْجِدِ الْأَقْصَى. أَخْرَجَهُ الْبُخَارِيْ وَمُسْلِمٌ وَلَفْظُهُ ” إِنَّمَا يُسَافَرَ إِلَى ثَلاَثَةِ مَسَاجِدَ مَسْجِدِ الْكَعْبَةِ وَمَسْجِدِيْ وَمَسْجِدِ إِيْلِيَاءَ.
“Tidaklah (boleh) dilakukan perjalanan (untuk ibadah) kecuali kepada tiga masjid: Al-Masjidil Haram , masjid Ar-Rasul dan masjid Al-Aqshâ”. Dikeluarkan oleh Imam Bukhâry dan Muslim dengan lafazh,“Safar itu hanyalah kepada tiga masjid (yaitu) masjid Al-Ka’bah, Masjidku dan Masjid Iliyâ`.”
Juga hadits Abu Sa’id Al-Khudry dari Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa sallam,
لاَ تُشَدُّ وَفِيْ لَفْظٍ : لاَ تَشُدًّوْا الرِّحَالَ إِلاَّ إِلَى ثَلاَثَةِ مَسَاجِدَ مَسْجِدِيْ هَذَا وَمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَمَسْجِدِ الْأَقُصَى. أَخْرَجَهُ الشَّيْخَانِ وَاللَّفْظُ الْآخَرُ لِمُسْلِمٍ.
“Tidaklah (boleh) dilakukan perjalanan -dan dalam sebuah riwayat: janganlah kalian melakukan perjalanan- (untuk ibadah) kecuali kepada tiga masjid: Masjidku (Masjid Nabawy), Masjidil Haram dan masjid Al-Aqshâ.” Muttafaqun ‘alaihi .
  • Menyalakan lampu (pelita) pada kuburan, karena perbuatan tersebut adalah bid’ah yang tidak pernah dikenal oleh para salafus shalih, merupakan pemborosan harta, dan menyerupai Majûsi(para penyembah api) ( Ahkâmul Janâ`iz hal. 294).
  • Membaca Al-Qur`ân di kuburan.
Membaca Al-Qur`ân di pekuburan adalah suatu bid’ah dan bukanlah petunjuk Nabi shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa sallam. Bahkan petunjuk (sunnah) Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa sallam adalah berziarah dan mendoakan mereka, bukan membaca Al-Qur`ân.
Dan hadits Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa sallam bersabda,
لاَ تَجْعَلُوْا بُيُوْتَكُمْ مَقَابِرَ إِنَّ الشَّيْطَانَ يَنْفِرُ مِنَ الْبَيْتِ الَّذِيْ تُقْرَأُ فِيْهِ سُوْرَةُ الْبَقَرَةِ.
“Janganlah kalian jadikan rumah-rumah kalian sebagai pekuburan, sesungguhnya syaithan akan lari dari rumah yang dibacakan padanya surah Al-Baqarah.” Diriwayatkan oleh Imam Muslim no. 780.
Pada hadits ini terkandung pengertian bahwa Nabi shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa sallam memerintahkan umatnya membaca Al-Qur`ân di rumah-rumah mereka (menjadikan rumah-rumah mereka sebagai salah satu tempat membaca Al-Qur`ân), kemudian beliau menjelaskan hikmahnya, yaitu bahwa syaithân akan lari dari rumah-rumah mereka jika dibacakan surah Al-Baqarah.
Dan sebelumnya Nabi shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa sallam telah melarang untuk menjadikan rumah-rumah mereka sebagai kuburan yang dihubungkan dengan hikmah (illat tersebut), maka mafhûm (dipahami) dari hadits di atas adalah bahwa kuburan bukanlah tempat yang disyari’atkan untuk membaca Al-Qur`ân, bahkan tidak boleh membaca Al-Qur`ân padanya.
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, “ Para ulama telah menukil dari Imam Ahmad tentang makruhnya membaca Al-Qur`ân dikuburan dan ini adalah pendapat jumhur As-Salaf dan para shahabatnya (Ahmad) yang terdahulu juga di atas pendapat ini, dan tidak ada seorang pun dari ulama yang diperhitungkan mengatakan bahwa membaca Al-Qur`ân di kuburan afdhal (lebih baik). Dan menyimpan mashâhif (kitab-kitab Al-Qur`ân) di kuburan adalah bid’ah meskipun untuk dibaca… dan membacakan Al-Qur`an bagi mayat adalah bid’ah.” ( Min Bida’il Qubûr hal. 59).
  • Mengeraskan suara di kuburan.
Berkata Qais bin Abbâd, “Adalah shahabat-shahabat Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa sallam menyukai merendahkan suara dalam tiga perkara: dalam penerangan, ketika membaca Al-Qur`ân dan ketika di dekat jenazah-jenazah.” Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah no. 11201. ( Min Bida’il Qubûr hal. 88).
Catatan:
Untuk no.10 dan seterusnya akan disebutkan saja bentuk bid’ahnya dengan menunjuk rujukannya kalau ada. Adapun yang tidak disebutkan rujukannya, maka ia masuk ke dalam perkara-perkara bid’ah secara umum karena tidak dicontohkan oleh Nabi shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa sallam maupun para shahabatnya walaupun sebab untuk melakukannya ada. Hal ini dilakukan agar tulisan ini tidak menjadi terlalu panjang. Wallâhul Musta’ân.
  • Memasang payung (lihat Min Bida’il Qubûr hal. 93-94).
  • Menanaminya dengan pohon dan kembang.
  • Menyiraminya dengan air
  • Menaburkan kembang padanya.
  • Berziarah kubur setelah hari ke-3 dari kematian dan berziarah pada setiap akhir pekan kemudian pada hari ke-15, kemudian pada hari ke-40 dan sebagian orang hanya melakukannya pada hari ke-15 dan hari ke-40 saja ( Ahkâmul Janâ`iz ).
  • Menziarahi kuburan kedua orang tua setiap hari Jum’at ( Ahkâmul Janâ`iz ).
  • Keyakinan sebagian orang yang menyatakan bahwa mayat, jika tidak diziarahi pada malam Jum’at, dia akan tinggal dengan hati yang hancur di antara mayat-mayat lainnya dan bahwa mayat itu dapat melihat orang-orang yang menziarahi ketika mereka keluar dari batas kota ( Al-Madkhal 3/277).
  • Mengkhususkan ziarah kubur pada hari ‘Âsyûra` ( Al-Madkhal 1/290).
  • Mengkhususkan ziarah pada malam Nisfu Sya’bân ( Al-Madkhal 1/310, Talbis Iblis hal. 429).
  • Bepergian ke pekuburan pada 2 hari raya ‘Ied (‘Iedhul Fithri dan ‘Iedhul Adha) ( Ahkâmul Janâ`iz hal. 325).
  • Bepergian ke pekuburan pada bulan Rajab, Sya’bân dan Ramadhân ( Ahkâmul Janâ`iz hal.325).
  • Mengkhususkan berziarah kubur pada hari Senin dan Kamis ( Ahkâmul Janâ`iz hal.325).
  • Berdiri dan diam sejenak dengan sangat khusyu’ di depan pintu pekuburan seakan-akan meminta izin untuk masuk, kemudian setelah itu baru masuk ke pekuburan ( Ahkâmul Janâ`iz hal.325).
  • Berdiri di depan kubur sambil meletakkan kedua tangan seperti seorang yang sedang shalat, kemudian duduk di sebelahnya ( Ahkâmul Janâ`iz hal. 325).
  • Bertayammum untuk berziarah kubur ( Ahkâmul Janâ`iz hal. 325).
  • Membacakan surah Al-Fatihah untuk para mayit ( Ahkâmul Janâ`iz hal. 325).
  • Membaca doa,
اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ بِحُرْمَةِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ أَنْ لاَ تُعَذِّبَ هَذَا الْمَيِّتَ
“Ya Allah, aku meminta kepada-Mu dengan (perantara) kehormatan Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa sallam agar Engkau tidak menyiksa mayat ini.” ( Ahkâmul Janâ`iz hal. 326).
  • Menamakan ziarah terhadap kuburan tertentu sebagai haji ( Ahkâmul Janâ`iz ).
  • Mengirimkan salam kepada para nabi melalui orang yang menziarahi kuburan mereka ( Ahkâmul Janâ`iz hal. 327).
  • Mengirimkan surat dan foto-foto kepada Nabi shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa sallam melalui orang yang berziarah ke Masjid Nabawy. Hal ini sering terjadi/dialami.
  • Berziarah ke kuburan pahlawan tak dikenal ( Ahkâmul Janâ`iz 327).
  • Perkataan bahwa doa akan mustajab jika dibaca di dekat kuburan orang-orang shalih ( Ahkâmul Janâ`iz ).
  • Memukul beduk, gendang dan menari di sisi kuburan Al-Khalil Nabi Ibrahim ‘alaihis salam dalam rangka pendekatan diri kepada Allah Subhânahu wa Ta’âla ( Al-Madkhal 4/246).
  • Meletakkan mushaf di kuburan bagi orang-orang yang bermaksud membaca Al-Qur`ân ( Al-Fatâwâ 1/174).
  • Melemparkan sapu tangan dan pakaian ke kuburan dengan tujuan tabarruk (mencari berkah) ( Al-Madkhal 1/263).
  • Berlama-lamanya seorang wanita pada sebuah kuburan dan menggosok-gosokkan kemaluannya pada kuburan dengan tujuan supaya ia bisa hamil ( Ahkâmul Janâ`iz hal. 330).
  • Mengusap-usap kuburan dan menciumnya ( Iqtidhâ` Ash-Shirâthal Mustaqîm karya Ibnu Taimiyah, Al-I’tishâm karya Asy-Syâthiby).
  • Menempelkan perut dan punggung atau sesuatu dari anggota badan pada tembok kuburan ( Ziyâratul Qubûr Wal Istinjâd Bil Maqbûr hal. 54 oleh Ibnu Taimiyah).
  • Berziarah ke kubur para nabi dan orang-orang shalih dengan maksud untuk berdoa di sisi kuburan mereka dengan harapan terkabulnya doa tersebut ( Ar-Raddu ‘Alal Bakry hal. 27-57).
  • Keluar dari kuburan (pekuburan) yang diagungkan dengan cara berjalan mundur ( Al-Madkhal 4/238).
  • Berdiri lama di kuburan Nabi untuk mendoakan dirinya sendiri sambil menghadap ke kuburan ( Ar-Raddu ‘Alal Bakry / Ahkâmul Janâ`iz hal. 335).
Masih banyak lagi bentuk-bentuk amalan/perbuatan yang dilakukan ketika berziarah kubur yang menyelisihi cara berziarah yang syar’i, yang semua bentuk-bentuk tersebut adalah bid’ah di dalam agama ini yang telah dinyatakan oleh Nabi shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa sallam bahwa setiap bid’ah adalah sesat dan setiap yang sesat tempatnya di neraka. Na’ûdzu billâhi minhâWallâhu Ta’âla A’lam Bishshawab.
Maraji’
  • Ahkâmul Janâ`iz Wa Bid’auhâ / Syaikh Al-Imam Muhammad Nâshirudddin Al-Albâny.
  • Al-I’tishâm / Al-Imam Asy-Syâthiby.
  • Al-Majmû’ Syarh Al-Muhadzdzab / Al-Imam An-Nawawy.
  • Al-Mughny / Ibnu Qudâmah.
  • Al-Muntaqâ Min Fatâwâ Syaikh Shâlih bin Fauzân Al-Fauzân .
  • Ash-Shârimul Munky Fî Ar-Raddi ‘ Ala As-Subky / Muhammad bin Abdul Hâdy.
  • Hâsyiah Ar-Raudhah Murbi’ Syarh Zâdul Mustaqni’ / ‘Abdurrahman bin Muhammad bin Qasim An-Najdy.
  • Iqtidhâ` Ash-Shirâthal Mustaqîm Fî Mukhâlafatu Ashhâbul Jahîm / Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
  • Madkhal Asy-Syar’u Asy-Syarîf / Al-Imam Muhammad bin Muhammad Al-Abdary Ibnul Hâjj.
  • Majmu’ Al-Fatâwâ / Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
  • Manâr As-Sabîl Fî Syarh Ad-Dalîl / Syaikh Ibrâhim bin Muhammad Duwaiyyân.
  • Min Bida’il Qubûr / Hamad bin ‘Abdullah bin Ibrâhim Al-Humaidy.
  • Nailul Authâr Min Ahâditsi Sayyidil Akhyâr / Al-Imam Muhammad bin ‘Ali Asy-Syaukâny.
  • Talbîs Iblîs / Ibnul Jauzy.
  • Talkhîs Kitâb Al-Istighâtsah (Ar-Raddu ‘Alal Bakry) / Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
  • Taudhîhul Ahkâm / ‘Abdullah Al-Bassâm.
  • Zâdul Ma’âd Fî Hadyi Khairil ‘Ibâd / Ibnul Qayyim Al-Jauzy.
  • Ziyâratul Qubûr Wa Hukmul Istinjâd Bil Maqbûr / Syaikh Islam Ibnu Taimiyah.






10 Tips EID productive, please!



Ten easy tips eid productive.. Productive RAMADHAN ples..!

Productive Eid


Persoalan Zakat Fitrah

Tambah pengetahuan kita tentang zakat fitrah. Maksud, Dalil, Hukum, Hikmah, Golongan yang wajib membayar dan menerima, bentuk bayaran, waktu dan  kadar bayaran. Semoga bermanfaat.
Sumber : http://fiqh-sunnah.blogspot.com/


Maksud Zakat Fitrah

Zakat dari sudut bahasa ialah tumbuh dan bertambah. Harta yang dibayar sebagai zakat, ia sebenarnya menumbuh dan menambahkan lagi harta yang dimiliki oleh pembayar tersebut. Fitrah dari sudut bahasa ialah terbelah. Ada pun dari sudut syari‘at, maka Zakat Fitrah ialah harta yang wajib dibayar pada penghujung bulan Ramadhan. Demikian penerangan ringkas dari kamus-kamus bahasa Arab dan kitab-kitab fiqh.

Menarik untuk diperhatikan bahawa istilah Zakat Fitrah hanya dikenal dengan kedatangan Islam. Istilah tersebut tidak dikenal di kalangan bangsa Arab sebelum kedatangan Islam. Justeru ia adalah istilah yang khusus untuk Islam, tidak untuk bangsa mahu pun agama yang lain. [al-‘Aini – ‘Umdat al-Qari Syarh Shahih al-Bukhari (Dar al-Fikr, Beirut, 1998), jld. 6, ms. 573]

Zakat fitrah juga dikenali dengan nama-nama lain, iaitu sedekah fitrah, zakat Ramadhan, zakat puasa, sedekah puasa dan sedekah Ramadhan.

Dalil Zakat Fitrah

‘Abd Allah ibn ‘Umar radhiallahu 'anhuma berkata:

فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ عَلَى الْعَبْدِ وَالْحُرِّ وَالذَّكَرِ وَالأُنْثَى وَالصَّغِيرِ وَالْكَبِيرِ مِنْ الْمُسْلِمِينَ وَأَمَرَ بِهَا أَنْ تُؤَدَّى قَبْلَ خُرُوجِ النَّاسِ إِلَى الصَّلاَةِ
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mewajibkan zakat fitrah sebanyak satu sha’ kurma atau satu sha’ gandum ke atas hamba dan orang yang merdeka sama ada lelaki mahu pun wanita, anak kecil mahu pun dewasa dari kalangan umat Islam. Baginda memerintahkan agar ia dibayar sebelum orang ramai keluar menunaikan solat (Aidil Fitri). [Sahih: Dikeluarkan oleh al-Bukhari dalam Shahihnya, hadis no: 1503 (Kitab al-Zakat, Bab kewajipan sedekah fitrah)]


Hukum Zakat Fitrah

Berdasarkan hadis di atas, jumhur ilmuan berpendapat bahawa hukum zakat fitrah ialah wajib. Ada segelintir yang berpendapat kewajipannya telah dibatalkan berdasarkan sebuah riwayat lain:

أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِصَدَقَةِ الْفِطْرِ قَبْلَ أَنْ تَنْزِلَ الزَّكَاةُ فَلَمَّا نَزَلَتْ الزَّكَاةُ لَمْ يَأْمُرْنَا وَلَمْ يَنْهَنَا وَنَحْنُ نَفْعَلُهُ
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam memerintahkan kami untuk membayar zakat fitrah sebelum turunnya (kewajipan membayar) zakat (tahunan). Maka tatkala disyari‘atkan (kewajipan membayar) zakat (tahunan), baginda tidak lagi memerintahkan kami (untuk membayar zakat fitrah) mahu pun melarang kami (dari membayar zakat fitrah). Namun kita tetap melakukannya (membayar zakat fitrah). [Sahih: Dikeluarkan oleh al-Nasai dan dinilai sahih oleh al-Albani dalam Shahih Sunan al-Nasai, hadis no: 2505 (Kitab al-Zakat, Bab kewajipan sedekah fitrah sebelum disyari‘atkan zakat tahunan)]

Ibn Hajar al-‘Asqalani rahimahullah (852H) telah menolak pendapat segelintir ini dengan hujah bahawa hadis di atas tidak menunjukkan adanya pembatalan. Sebaliknya sikap diam Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam adalah kerana perintah baginda yang awal sudah mencukupi tanpa perlu untuk baginda mengulanginya. Lebih dari itu, pensyari‘atan sesuatu yang baru tidak semestinya bererti pembatalan ke atas sesuatu yang lama. [Fath al-Bari bi Syarh Shahih al-Bukhari (Dar al-Fikr, Beirut, 2000), jld. 4, ms. 139]

Selain itu ada juga yang berpendapat hukum zakat fitrah ialah sunat muakkadah kerana mereka memahami istilah “faradha” dalam hadis ‘Abd Allah ibn ‘Umar di atas sebagai “kadar ukuran”. al-Hafiz Ibn Hajar al-‘Asqalani sekali lagi menolak pendapat ini dengan menukil hujah Ibn Daqiq al-‘Id rahimahullah (702H), bahawa istilah “faradha” dari sudut bahasa memang bermaksud “kadar ukuran”. Akan tetapi yang diambil kira ialah maksud dari sudut syari‘at dan dari sudut ini, “faradha” ialah “kewajipan”. Maka memahami hadis ‘Abd Allah ibn ‘Umar dengan maksud kewajipan adalah lebih tepat. [Fath al-Bari, jld. 4, ms. 139]


Hikmah Zakat Fitrah

‘Abd Allah ibn ‘Abbas radhiallahu 'anhuma menerangkan hikmah zakat fitrah sebagai:

فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنْ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ مَنْ أَدَّاهَا قَبْلَ الصَّلاَةِ فَهِيَ زَكَاةٌ مَقْبُولَةٌ وَمَنْ أَدَّاهَا بَعْدَ الصَّلاَةِ فَهِيَ صَدَقَةٌ مِنْ الصَّدَقَاتِ
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mewajibkan zakat fitrah sebagai satu pembersihan bagi orang-orang yang berpuasa dari perbuatan yang sia-sia dan perkataan kotor, dan sebagai makanan untuk orang miskin. Sesiapa yang membayar zakat fitrah sebelum solat (Aidil Fitri) maka ia adalah zakat yang diterima (oleh Allah) baginya. Sesiapa yang membayarnya selepas solat (Aidil Fitri) maka ia adalah sedekah seperti sedekah biasa. [Hasan: Dikeluarkan oleh Abu Daud dan dinilai hasan oleh al-Albani dalam Shahih Sunan Abu Daud, hadis no: 1609 (Kitab al-Zakat, Bab zakat fitrah)]

Berdasarkan penjelasan ‘Abd Allah ibn ‘Abbas, dapat ditangkap bahawa hikmah zakat kembali kepada dua pihak:

Pihak yang berpuasa. Zakat fitrah membersihkan, yakni menampal kekurangan-kekurangan puasanya sepanjang Ramadhan, yang disebabkan oleh perbuatannya yang mungkin sia-sia atau perkataannya yang mungkin kotor. Dengan membayar zakat fitrah, amalan seseorang di sepanjang bulan Ramadhan kembali bersih seperti salji putih.

Pihak yang memerlukan. Zakat fitrah memastikan orang-orang yang miskin mendapat makanan yang secukupnya agar dengan itu mereka dapat meraikan Aidil Fitri dalam suasana kecukupan bersama keseluruhan umat Islam. Islam tidak ingin melihat di hari 1 Syawal ada orang yang meminta-minta padahal di kalangan umat Islam ada yang meraikannya dalam suasana kecukupan.
Golongan Yang Wajib Membayar Zakat Fitrah


Golongan yang wajib membayar zakat fitrah adalah seperti berikut:

Pertama:
Kewajipan zakat fitrah hanya ke atas orang Islam sebagaimana hadis ‘Abd Allah ibn ‘Umar yang telah dikemukakan sebelum ini: “Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mewajibkan zakat fitrah … dari kalangan umat Islam.”

Kedua:
Zakat fitrah diwajibkan ke atas orang yang mampu, iaitu memiliki kecukupan yang melebihi keperluannya untuk sehari semalam. Batas ini ditetapkan oleh para ahli fiqh mengingatkan tujuan zakat fitrah adalah untuk memenuhi keperluan orang miskin selama satu hari, iaitu pada 1 Syawal sempena Aidil Fitri.

Kecukupan yang melebihi keperluannya adalah sesuatu yang sedia ada di sisinya. Oleh itu tidak perlu menjual harta, barang kemas dan sebagainya untuk mencapai taraf kecukupan.

Ketiga:
Orang-orang yang nafkah hidupnya berada di bawah tanggungan orang lain, maka dia tidak wajib membayar zakat fitrah. Zakat fitrahnya dibayar oleh orang yang menanggung nafkah hidupnya, berdalilkan hadis berikut:


أَنَّ النَبِي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَرَضَ زَكَاةَ الْفِطْرِ عَلَى الصَّغِيرِ وَالْكَبِيرِ وَالذَّكَرِ وَالأُنْثَى مِمَّنْ تَمُونُونَ
Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mewajibkan zakat fitrah ke atas anak kecil dan orang dewasa, lelaki dan wanita, dari orang-orang yang kalian tanggung nafkah hidupnya. [Hasan: Dikeluarkan oleh al-Daraquthni dalam Sunannya, hadis no: 2052 (Kitab Zakat al-Fitri) dan dengan sanad yang memiliki perbincangan. al-Albani menilainya hasan berdasarkan jalan periwayatan lain yang dikeluarkan oleh al-Baihaqi. Rujuk Irwa’ al-Ghalil fi Takhrij Ahadits Manar al-Sabil (al-Maktab al-Islami, Beirut, 1985), hadis no: 835]

Siapa dan bagaimanakah kedudukan orang yang di bawah tanggungan tersebut? Syaikh ‘Abd al-Karim Zaidan hafizhahullah telah menghimpun perbincangan para ilmuan dalam persoalan ini dalam karyanya al-Mufashshal fi Ahkam al-Mar’ah wa Bait al-Muslim fi al-Syari‘ah al-Islamiyyah (Muassasah al-Risalah, Beirut, 2000), jld. 1, ms. 455 dan seterusnya. Ia dapat saya ringkaskan seperti berikut:

1 - Suami tidak mampu, isteri tidak mampu. Suami isteri tidak wajib bayar zakat fitrah.

2 - Suami mampu, isteri tidak mampu. Suami membayar zakat fitrah untuk diri dan isterinya.

3 - Suami mampu, isteri mampu (memiliki harta atau bekerjaya). Suami membayar zakat fitrah untuk diri dan isterinya. Akan tetapi zakat tahunan isteri dibayar oleh isteri itu sendiri.

4 - Suami telah menceraikan isteri tetapi masih menanggung nafkahnya. Suami membayar zakat fitrah untuk dirinya dan untuk isteri yang telah diceraikan itu.

5 - Suami tidak mampu (miskin, muflis, kena buang kerja), isteri mampu. Isteri membayar zakat fitrah hanya untuk dirinya sendiri.

6 - Ibubapa dan anak tidak mampu. Kesemuanya tidak wajib bayar zakat fitrah.

7 - Ayah mampu, anak tidak mampu. Ayah membayar zakat fitrah untuk anak-anaknya.

8 - Ayah mampu, anak mampu (biasiswa pendidikan, sudah bekerjaya). Masing-masing membayar zakat fitrah untuk dirinya sendiri.

9 - Ayah tidak mampu, ibu mampu, anak tidak mampu. Ibu membayar zakat fitrah hanya untuk dirinya.

10 - Ibubapa tidak mampu (tua, telah bersara), anak mampu. Anak membayar zakat fitrah untuk diri dan ibubapanya.

11 - Ibu sedang hamil. Tidak wajib membayar zakat fitrah untuk anak yang dikandung. Akan tetapi kebanyakan ilmuan menganjurkannya berdasarkan tindakan para sahabat. [‘Abd Allah bin ‘Abd al-Rahman al-Bassam – Taudih al-Ahkam min Bulugh al-Maram (Maktabah al-Asri, Mekah, 2003), jld. 3, ms. 375]

12 - Penjaga dan anak yatim piatu tidak mampu. Kesemuanya tidak wajib membayar zakat fitrah.

13 - Penjaga mampu, anak yatim tidak mampu. Penjaga membayar zakat fitrah untuk dirinya dan anak yatim piatu jagaannya itu.

14 - Penjaga mampu, anak yatim piatu mampu (memiliki harta warisan). Penjaga membayar zakat fitrah untuk dirinya dengan hartanya sendiri. Kemudian membayar zakat fitrah untuk anak yatim piatu jagaannya dengan harta anak yatim itu sendiri.

15 - Penjaga tidak mampu, anak yatim piatu mampu. Penjaga tidak wajib membayar zakat fitrah tetapi membayar zakat fitrah untuk anak yatim piatu jagaannya dengan harta anak yatim itu sendiri.


Kadar Bayaran Zakat Fitrah

Kadar bayaran zakat fitrah ialah satu sha’ sebagaimana yang disebut dalam hadis ‘Abd Allah ibn ‘Umar di atas: “Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mewajibkan zakat fitrah sebanyak satu sha’ kurma…”. Ukuran satu sha’ bersamaan dengan 2.157 kilogram. [Kamal bin al-Sayyid Salim – Shahih Fiqh al-Sunnah (edisi terjemahan oleh Besus Hidayat Amin dengan judul yang sama; Pustaka Azzam, Jakarta, 2006), jld. 2, ms. 134]


Bentuk Bayaran Zakat Fitrah

Terdapat perbincangan di kalangan para ilmuan Islam berkenaan bentuk bayaran zakat fitrah dan waktu membayar zakat fitrah. Perbincangan ini membahagikan para ilmuan kepada dua kumpulan:

Kumpulan Pertama memandang zakat sebagai ibadah yang melibatkan hak Allah Subhanahu wa Ta'ala. Maka ayat-ayat dan hadis-hadis berkenaan zakat hendaklah diambil hukumnya secara zahir.

Kumpulan Kedua memandang zakat sebagai ibadah yang melibatkan hak manusia. Maka ayat-ayat dan hadis-hadis berkenaan zakat hendaklah diambil hukumnya berdasarkan tujuan yang ingin dicapai oleh syari‘at.

Berdasarkan dua kumpulan ini, mereka memiliki dua pandangan tentang bentuk bayaran zakat fitrah:
Kumpulan Pertama berpendapat zakat fitrah hendaklah dibayar dalam bentuk makanan yang disebut oleh hadis-hadis yang sahih sahaja, iaitu kurma, gandum, keju dan anggur kering. Makanan-makanan ini disebut oleh Abu Sa‘id al-Khudri radhiallahu 'anh yang berkata:

كُنَّا نُخْرِجُ زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ طَعَامٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ أَقِطٍ أَوْ صَاعًا مِنْ زَبِيبٍ
Kami (para sahabat) membayar zakat fitrah dengan satu sha’ makanan atau satu sha’ gandum atau satu sha’ kurma atau satu sha’ keju atau satu sha’ anggur kering. [Sahih: Dikeluarkan oleh al-Bukhari dalam Shahihnya, hadis no: 1506 (Kitab al-Zakat, Bab sedekah fitrah dengan satu sha’ makanan)]

Kumpulan Kedua berpendapat zakat fitrah hendaklah dibayar dalam bentuk makanan asasi sesebuah masyarakat. Mereka tidak merujuk kepada zahir hadis, sebaliknya merujuk kepada tujuan hadis, iaitu memberi makanan kepada orang miskin sempena Aidil Fitri. Sudah tentu masyarakat yang hidup di tempat lain memiliki makanan asasi yang berlainan. Mewajibkan zakat fitrah dengan makanan yang bukan asasi bagi sesebuah masyarakat hanya akan menyusahkan mereka dan ini menyelisihi tujuan Islam mensyari‘atkan zakat fitrah.

al-Syafi’e rahimahullah (204H) menjelaskan:
Jika makanan asasi seseorang ialah jagung, padi atau biji-bijian yang lain, maka dia wajib membayar zakat fitrah sesuai dengan makanan asasinya. Ini kerana Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mewajibkan zakat fitrah dari jenis makanan dan baginda menyebut gandum dan kurma. Kami menggunakan akal dalam memahami (sabda Rasulullah tersebut), bahawa yang baginda ingin sebutkan ialah makanan asasi. Maka apa jua yang menjadi makanan asasi kita, maka itulah yang kita gunakan untuk membayar zakat fitrah, insya-Allahu Ta‘ala. [Mausu‘ah al-Imam al-Syafi’e: al-Kitab al-Umm (tahqiq: Ahmad Badr al-Din; Dar Qutaibah, 1996), jld. 4, ms. 254]

Pendapat yang dipilih ialah apa yang dikemukakan oleh Kumpulan Kedua, iaitu hendaklah zakat fitrah dibayar menggunakan makanan asasi sesebuah masyarakat.

Seterusnya timbul perbincangan di kalangan para ilmuan, bolehkan makanan asasi tersebut dibayar dengan nilainya? Kedua-dua kumpulan di atas memiliki pandangan yang tersendiri:

Kumpulan Pertama berpendapat zakat fitrah hendaklah dibayar dengan bahan makanan. Ia tidak boleh diganti dengan nilai makanan kerana zahir hadis menyebut makanan.

Kumpulan Kedua berpendapat zakat fitrah boleh dibayar dengan nilai bahan makanan. Ini kerana tujuan yang ingin dicapai oleh hadis adalah supaya orang miskin mendapat makanan sempena Aidil Fitri dan tujuan ini dapat dicapai dengan memberi nilai bahan makanan kepadanya.

Pendapat yang dipilih ialah di pertengahan antara kedua-dua pendapat di atas. Orang yang hendak membayar zakat fitrah hendaklah memerhatikan terlebih dahulu keadaan orang miskin. Jika memberi makanan adalah lebih bermanfaat, seperti kepada orang-orang miskin yang hidup di pendalaman, maka hendaklah dia membayar zakat fitrah dengan makanan. Jika memberi nilai makanan adalah lebih bermanfaat, seperti kepada orang-orang miskin yang hidup di kota, hendaklah dia membayar zakat fitrah dengan nilai makanan.
Demikian merupakan pendapat Ibn Taimiyyah rahimahullah (728H) dalam kitabnya Majmu’ al-Fatawa (Dar al-Wafa’, Kaherah, 2001), jld. 25, ms. 82-83]


Waktu Membayar Zakat Fitrah

Waktu membayar zakat fitrah ialah sebelum keluar menunaikan solat Aidil Fitri. Ini sebagaimana hadis ‘Abd Allah ibn ‘Umar yang dikemukakan sebelum ini: “Baginda memerintahkan agar ia dibayar sebelum orang ramai keluar menunaikan solat (Aidil Fitri).” Walaubagaimana pun dalam sebuah riwayat diterangkan bahawa:

وَكَانُوا يُعْطُونَ قَبْلَ الْفِطْرِ بِيَوْمٍ أَوْ يَوْمَيْنِ.
(Para sahabat) biasa membayar zakat fitrah sehari atau dua hari sebelum Aidil Fitri. [Sahih: Dikeluar oleh al-Bukhari dalam Shahihnya, hadis no: 1511 (Kitab al-Zakat, Bab sedekah fitrah diwajibkan atas orang merdeka dan hamba)]

Berdasarkan tindakan para sahabat di atas, radhiallahu 'anhum, kedua-dua kumpulan mengemukakan pendapat yang tersendiri:

Kumpulan Pertama berpendapat pembayaran zakat fitrah tidak boleh diawalkan melebihi dua hari daripada tarikh 1 Syawal. Ini kerana zahir dari tindakan para sahabat menunjukkan mereka tidak mengawalkannya melebihi dua hari.

Kumpulan Kedua berpendapat zakat pembayaran zakat fitrah boleh diawalkan melebihi dua hari daripada tarikh 1 Syawal. Ini kerana pengawalan dua hari yang dilakukan oleh para sahabat bukanlah satu ketetapan, tetapi satu pilihan berdasarkan kemasalahatan pada zaman mereka.

Pendapat yang dipilih sekali lagi adalah yang dipertengahan antara kedua-dua pendapat di atas. Boleh membayar zakat fitrah lebih awal dari tarikh 1 Syawal, akan tetapi tidak terlalu awal sehingga menghilangkan tujuan zakat fitrah itu sendiri. Ini kerana tujuan zakat fitrah adalah untuk membantu orang miskin meraikan Aidil Fitri. Jika dibayar terlalu awal, mereka (orang miskin) mungkin akan menggunakan zakat fitrah tersebut sebelum tiba Aidil Fitri.

Merujuk kepada suasana di Malaysia, jika seseorang itu ingin membayar zakat fitrah kepada orang miskin dengan sendiri, adalah lebih afdhal dia membayar pada ketika yang menghampiri Aidil Fitri, asalkan sebelum solat Aidil Fitri. Sebaliknya jika seseorang itu membayar zakat fitrah kepada Pusat Pungutan Zakat, maka dia boleh membayarnya pada ketika mereka mula bersedia menerimanya.


Golongan Yang Berhak Menerima Zakat Fitrah

Terdapat perbincangan di kalangan para ilmuan tentang golongan yang berhak menerima zakat fitrah. Perbincangan mereka membuahkan dua pendapat:

Pendapat Pertama menyatakan golongan yang berhak menerima zakat fitrah ialah golongan yang juga berhak menerima zakat tahunan. Ini kerana zakat fitrah adalah salah satu kategori zakat yang termasuk dalam firman Allah:

إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَاِبْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِنْ اللَّهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
Sesungguhnya sedekah-sedekah (zakat) itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, amil-amil yang mengurusnya, orang-orang muallaf yang dijinakkan hatinya, hamba-hamba yang hendak memerdekakan dirinya, orang-orang yang berhutang, (dibelanjakan pada) jalan Allah dan orang-orang musafir (yang keputusan) dalam perjalanan. (Ketetapan hukum yang demikian itu ialah) sebagai satu ketetapan (yang datangnya) dari Allah. Dan (ingatlah) Allah Maha Mengetahui, lagi Maha Bijaksana. [al-Taubah 9:60]

Pendapat Kedua menyatakan golongan yang berhak menerima zakat fitrah hanyalah orang miskin berdasarkan hadis yang menerangkan hikmah zakat fitrah: “Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mewajibkan zakat fitrah … sebagai makanan untuk orang miskin.”

Pendapat yang dipilih adalah dipertengahan antara dua pendapat di atas. Prioriti utama zakat fitrah adalah untuk orang miskin. Jika kesemua orang miskin sudah dicukupi, maka baki zakat fitrah yang terkumpul boleh diberikan kepada golongan-golongan lain yang disenaraikan dalam ayat 60 surah al-Taubah di atas.

Demikian hasil telaah beberapa hukum dan syarat berkenaan zakat fitrah. Semoga ia bermanfaat kepada para pembaca sekalian. Lebih penting, semoga zakat fitrah yang kita bayar diterima oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala, dapat menampal apa-apa kekurangan kita sepanjang bulan Ramadhan dan agar orang-orang miskin sama-sama dapat meraikan Aidil Fitri dengan bahagia.


Soalan

bolehkah zakat fitrah diberi terus kepada fakir miskin tanpa melalui amil yang telah dilantik?
contohnya jiran saya diketahui umum adalah seorang yang miskin, lantas dibulan ramadhan saya memberikan sedakah kepadanya dengan niat menunaikan zakat.
 adakah sah zakat fitrah saya itu?

Nawawi berkata...
Boleh. Bagi dalam bentuk makanan asasi. Itulah yg sunnah.